Pada tahun 1975, salah satu bencana hidrometeorologi paling mematikan dalam sejarah terjadi di Tiongkok, yakni Topan Nina yang melanda Provinsi Henan. Bencana ini tidak hanya disebabkan oleh kekuatan badai itu sendiri, tetapi juga oleh serangkaian kegagalan teknis yang memperparah dampaknya.

Baca Juga : Gempa Bumi Haiti 2010: Bencana yang Mengguncang Dunia

Awal Mula Topan Nina

Topan Nina merupakan badai tropis yang terbentuk di Samudra Pasifik pada akhir Juli 1975. Badai ini awalnya bergerak menuju Taiwan, di mana angin kencang dan hujan deras menyebabkan kerusakan yang cukup besar. Namun, ketika badai bergerak ke daratan Tiongkok, kondisinya menjadi lebih buruk.

Nina mencapai daratan di Tiongkok pada tanggal 5 Agustus 1975 dan secara langsung mempengaruhi Provinsi Henan, yang merupakan salah satu wilayah terpadat di Tiongkok. Curah hujan yang luar biasa tinggi selama beberapa hari, mencapai hingga 1.600 mm di beberapa tempat, membuat situasi semakin genting.

Runtuhnya Bendungan Banqiao dan Shimantan

Dampak terparah dari Topan Nina bukan hanya disebabkan oleh badai itu sendiri, tetapi karena runtuhnya bendungan-bendungan besar di wilayah tersebut, terutama Bendungan Banqiao dan Bendungan Shimantan. Bendungan Banqiao, yang terletak di Sungai Ru di Provinsi Henan, dirancang untuk menahan banjir besar, tetapi tidak mampu mengatasi curah hujan ekstrem yang dibawa oleh Topan Nina.

Pada tanggal 8 Agustus 1975, setelah dua hari hujan deras, Bendungan Banqiao runtuh. Runtuhnya bendungan ini diikuti oleh Bendungan Shimantan dan beberapa bendungan lainnya di sekitarnya. Gelombang air yang sangat besar menghantam desa-desa dan kota-kota di sekitarnya, menyebabkan kerusakan yang luar biasa dan menewaskan ribuan orang.

Dampak Kemanusiaan

Bencana ini menyebabkan banjir besar yang menenggelamkan wilayah luas di Henan. Diperkirakan sekitar 85.000 hingga 240.000 orang tewas akibat kombinasi banjir, tanah longsor, dan penyakit yang menyebar setelahnya. Selain itu, lebih dari 11 juta orang terkena dampak langsung dari banjir tersebut, dengan sekitar 5 juta orang kehilangan tempat tinggal.

Banjir yang dihasilkan dari runtuhnya bendungan-bendungan menciptakan gelombang air setinggi 10 meter yang menghancurkan segala sesuatu yang ada di jalurnya. Kota-kota, desa-desa, lahan pertanian, dan infrastruktur lainnya rusak berat. Banyak dari korban yang meninggal karena tenggelam, sementara yang lain meninggal akibat kelaparan, penyakit, dan masalah kesehatan lainnya yang muncul setelah bencana.

Penyebab dan Tanggapan

Ada beberapa faktor yang berkontribusi pada skala bencana ini. Salah satunya adalah kurangnya peringatan dini dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bahaya badai dan banjir. Selain itu, bendungan-bendungan yang dibangun di wilayah tersebut dirancang untuk menahan banjir dalam skala tertentu, tetapi tidak diperhitungkan untuk menghadapi curah hujan ekstrem seperti yang dibawa oleh Topan Nina.

Pemerintah Tiongkok pada saat itu menutup informasi terkait bencana ini selama bertahun-tahun, dan baru pada dekade-dekade berikutnya rincian yang lebih jelas tentang bencana tersebut mulai terungkap. Kegagalan infrastruktur dan kurangnya tanggapan cepat terhadap krisis ini memicu perubahan dalam kebijakan manajemen bencana di Tiongkok.

Pelajaran dari Topan Nina

Bencana ini menjadi peringatan keras akan pentingnya manajemen risiko bencana yang lebih baik. Setelah runtuhnya bendungan Banqiao dan Shimantan. Tiongkok memperkuat standar konstruksi bendungan, memperbarui sistem peringatan dini, dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan untuk memperbaiki kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Topan Nina tahun 1975 tetap menjadi salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah modern. Meski badai itu sendiri menyebabkan kerusakan yang signifikan. Dampak yang lebih besar terjadi karena kegagalan teknis dan kurangnya kesiapan dalam menghadapi bencana alam yang ekstrem.